Dua
hari lalu (24/7) saya diundang menghadiri kegiatan bersejarah di kecamatan
saya. Sebuah organisasi perempuan mengadakan launching gerakan dhumbu’an
(jempitan) yang melibatkan kurang lebih sekitar 500 anggotanya yang tersebar di
17 desa. 500 orang ini diharapkan menjadi penggerak di komunitasnya
masing-masing. Jika setiap penggerak bisa mengajak satu orang saja, maka jumlah
yang terlibat dalam gerakan ini 1.000 orang.
Gerakan jempitan adalah gerakan dimana
perempuan yang terlibat sepakat untuk menyisihkan 1 sendok beras setiap
kali memasak. Jika dalam 1 hari para ibu memasak 2 atau 3 kali, maka para ibu
menyisihkan 2 atau 3 sendok ke dalam kotak yang sudah disediakan oleh
organisasi perempuan tersebut.
Setiap minggu bersamaan dengan kegiatan
kelompok pengajian yang ada di setiap desa, hasil jempitan bersama-sama
dikumpulkan. Kemudian hasil jempitan dari desa diserahkan oleh
koordinatornya kepada panitia di tingkat kecamatan. Hasil jempitan ini digunakan
untuk membiayai kegiatan organisasi perempuan baik di tingkat kecamatan dan
desa, sebagian disalurkan kepada warga miskin, sebagian dijadikan lumbung
pangan, dan sebagiannya lagi di saving untuk membangun Balai Kesehatan
Ibu-Anak (BKIA).
Para ibu nampak optimis dengan gerakan ini.
Dari pengalaman gerakan jempitan di satu desa dua bulan sebelumnya,
penggalangan dana secara swadaya optimis bisa dilakukan. Di satu desa yang
sudah sukses tersebut ada sekitar 200 orang yang terlibat dalam gerakan jempitan.
Dalam dua bulan beras yang dikumpulkan hanya 1 sendok setiap kali mau memasak,
ketika dirupiahkan memperoleh uang sekiar dua juta. Bayangkan jika gerakan ini
nanti merata dilakukan di 17 desa. Hasilnya tentu jauh lebih besar. Dan
itu hanya dilakukan dalam hitungan bulan. Bayangkan jika bertahun-tahun? Jadi, launching
ini menandai dimulainya jempitan secara massif di 17 desa, setelah sebelumnya
sukses dilakukan di 1 desa.
Saya yang ikut menyaksikan launching
gerakan ini terharu sekaligus bangga melihat perempuan desa bisa membangun
kebersamaan dan kesepahaman untuk terlibat dalam permasalahan kemiskinan. Dalam
kenyataannya, saya melihat, organisasi perempuan di kecamatan saya memang lebih
hidup dari organisasi bapak-bapak. Organisasi perempuan juga lebih mengakar,
disiplin, dan lebih peka merespon permalahan social.
Yang menarik bagi saya, ketika seorang yang
memberi orasi dalam gerakan ini mengatakan bahwa di tengah tarik ulur UU
Jaminan Sosial yang sampai masih belum disahkan hingga detik ini, gerakan
jempitan adalah penegasan bahwa tanpa dibantu pemerintah, rakyat bisa
menyelesaikan persoalannya sendiri. “1 sendok beras sebelum memasak”
adalah gerakan riil untuk terlibat menyelesaikan persoalan kemiskinan,
ketimbang menunggu good will pemerintah yang tak lebih “angin
surga”.
Mungkin, para pemimpin bangsa ini harus
belajar banyak kepada perempuan desa yang memiliki kepekaan social dan bekerja
dengan cepat untuk menyelesaikannya. Di tengah deraan ekonomi, mereka begitu
tangguh menyiasati hidupnya sendiri dan masyarakatnya. Berangkat dari yang
kecil untuk mewujudkan mimpi besar. Bukan hanya pangku tangan enak hidup
sendiri atau hanya mengobral janji yang tidak pasti. Saatnya bekerja untuk
sekarang.
Noname
Matorsakalangkong
Sumenep, 26 juli 2011
kalau uhang tino macam tu galo maju dusun kito
BalasHapustentu iyo.....
BalasHapusha...ha... komentar dewek jawab dewek... aneh...
BalasHapusdulu cam tu lah kehidupan d desa. kini ko maklum bae lah byk nan pinta...
Hapusjangan dinilai dri sendoknya,tapi dari ketulusan dan Keingin utk menyeasaikan suatu masaah
BalasHapusSetuju....semua berawal dari keinginan/niat dan ketulusan dalam melaksanakan sesuatu...dan bukan pula dilihat dari besar dan kecilnya apa yang dilakukan...
BalasHapus